Jumat, 11 Mei 2012

Home ,Stan and fact


            
These are about dreams and facts, sometimes when dream doesn’t walk the ways its should be, the only one place you want to think about it is just Home.
Hujan. Hari ini sedang hujan. Hari ini, hari pertama aku menginjakkan kaki dikampus yang akan menjadi tempatku menuntut ilmu 4 atau 5 tahun mendatang. Aku menatap langit, kelabu. Ku perhatikan sekelilingku, orang – orang tampak sama sepertiku : mengalami kebosanan. Hari ini aku mendaftarkan ulang setelah dinyatakan lulus di perguruan tinggi negeri di ibukota provinsi . Bapak ku menerima kemenangan ini dengan sangat sukacita, sangat sukacita. Ekspresi yang sama seperti waktu Jepang menyerah kepada Sekutu, atau ekspresi ketika Gusdur terpilih menjadi presiden.
Orang tuaku tidak mengharapkan aku lulus di perguruan tinggi macam UI, TIDAK. Dia bahkan mungkin tidak pernah mendengar nama itu.
Lalu bagaimana aku menanggapi kemenangan ku ini, mengalahkan puluhan ribu orang yang berebut keperguruan tinggi ini ? haruskah aku juga ikut merasakan euforia orang tuaku ? haruskah aku melonjak kegirangan ? atau haruskah aku meng-update statusku di jejaring sosial :
Wow... finally i get it.
Bisakah ku katakan sebuah kebenaran ?
AKU SANGAT BENCI DINYATAKAN LULUS DIPERGURUAN TINGGI INI.
Aku tidak pernah berminat untuk kuliah disini. TIDAK. Mungkin pernah, tapi itu sudah sangat lama sekali. Aku pernah bercita – cita jadi guru sewaktu aku SD, bayangkan betapa lamanya waktu sudah berlalu. Presiden saja sudah banyak berganti sejak aku memiliki mimpi itu.
Aku ingin jadi guru karena di kampungku satu – satunya profesi yang menyenangkan itu adalah guru, mereka tidak perlu keladang, berjibaku dengan lumpur, berjemur di panas dan kehujanan.
 Aku benci itu. Aku benci berbicara kepada rumput – rumput yang selalu mengganggu tanaman, aku benci melihat jagung apalagi ketika serbuk bunga jagung menempel ditubuhku, oh tidak.
            Tadinya aku ingin melanjutkan pendidikanku di STAN, aku sudah rajin membaca koran beberapa bulan terakhir ini. Mulai dari koran kriminal sampai koran politik, koran lokal hingga koran nasional, aku lebih rajin membaca koran daripada membaca buku teks.
 Itu untuk mengikuti petunjuk salah satu kenalanku  yang juga alumni dari STAN. Katanya soal – soal yang sering keluar untuk pengetahuan umum adalah peristiwa – peristiwa yang terjadi beberapa bulan belakangan sebelum ujian dimulai, sayangnya dia tidak memberitahu koran mana yang harus ku baca.
Dan sekarang aku sedih mendapati diriku disini, aku sedih melihat Ronauli, gadis dengan tinggi 153 cm, berkulit sawo matang (itu pun karena aku tidak terima dikatakan hitam), berambut ikal sedang berdiri disebuah gedung di universitas yang jauh dari mimpiku. Aku bagaikan Alice yang terbuang kelobang yang sangat dalam, lebih dalam daripada yang bisa ku bayangkan, yang tidak ku tahu akan berhenti dimana. (kalo nggak pernah nonton Alice in Wonderland gak ngerti nih...)
Ingin rasanya aku kembali ke masa kecilku. Akh aku kembali saja.
            Dairi. Pernah kah kau mendengarnya ?.
Memang tidak ada presiden yang lahir disana, tidak ada penyanyi yang lahir disana (mungkin ada tetapi mereka lebih sering mengatakan lahir di Medan daripada di Dairi) dan tentunya belum pernah ada peraih Nobel atau Grammy dari sana. Tapi kalau tersangka korupsi, ya ada beberapa orang, beberapa puluh orang, entahlah.
Dairi, aku tidak tahu berapa derajat lintang utara atau lintang selatan, aku juga tidak tahu berapa derajat bujur barat dan bujur timur. Aku lebih mengingat letak kota London dari pada Dairi.
Jika ada yang ingin menanyakanku mengenai Dairi maka yang paling ku ingat adalah: DINGIN. Ya  Dairi itu sangat dingin, itu yang membuat aku tidak lulus di STAN, cuaca dinginnya selalu membuat mataku mengantuk, angin nya seakan sedang bermain – main diujung mataku dan seakan selalu menyuruhku untuk tidur lagi dan lagi.
Jika ada yang menanyakan lebih lagi maka akan ku katakan, ketika kau ke Dairi maka dipastikan satu tulang rusukmu akan patah. Karena jalanan disana sangat berseni, penuh dengan tanjakan ringan yang selalu diperbaiki tetapi selalu rusak, belum lagi sopir bus ke Dairi sering berkelakuan seperti setan. Aku mengingat dosenku yang berkunjung ke Dairi membawa seorang rekannya turis mancanegara dan menumpang bus. Sesampainya di Dairi si turis berkomentar
The driver is crazy
Aku tertawa, dalam hatiku aku berkata
Yes sir, they absolutly crazy
Ibu kota Dairi adalah Sidikalang. Aku tidak tinggal di Sidikalang, aku tinggal 40 KM dari kota Sidikalang. Listrik sudah masuk, sedangkan telepon seluler atau handphone baru menyerang kampungku ditahun 2006.
Ingin kah kau mendengar bagaimana aku mendeskripsikan kampung halamanku lebih lengkap lagi ?
            Tidak indah. Ya kampung halaman ku tidak indah. Memiliki sungai yang terlalu berbahaya untuk direnangi, terlalu kotor untuk diminum dan terlalu jauh untuk dijangkau. Satu – satunya sumber air adalah sebuah pancuran. Pegunungan kecil mengelilingi dan perladangan menghampar. Tidak ada danau dibelakang rumah seperti yang sering ku lihat di Samosir. Sejauh mata memandang maka yang dilihat adalah jagung yang kadang tinggi tapi tidak berbuah, kacang yang tidak mau tumbuh dan kakao yang jerawatan.
TETAPI AKU MENCINTAINYA, MERINDUKANNYA DAN MENJADI SATU-SATUNYA TEMPAT YANG TIDAK AKAN MEMBUATKU BOSAN.
            Aku selalu mengingat bagaimana aku selalu melihat kebelakang ketika angkutan umum yang ku tumpangi bergerak menjauhi perkampungan itu, karena aku berharap setiap aku pergi meninggalkan perkampungan itu aku akan tetap kembali kesana. Karena aku selalu saja merindukan senyuman setiap orang – orang ketika bertemu denganku. Kehidupan ku berawal dari sana dan aku juga berharap sesekali akan kembali kesana dan mungkin ingin berakhir disana juga. Aku selalu merindukan udaranya yang sejuk menyentuh wajahku, memeluk tubuhku dan mempermainkan rambut ikalku, seakan itu adalah pesta penyambutan untukku.
Aku rindu berada dibawah pohon durian, melihat buahnya yang terkadang berhimpitan sangat banyak, mendengarnya jatuh dan tentu saja saat memakannya juga. Aku merindukan itu semua.
Aku merindukan hujan turun disana dan membasahi kepalaku, seakan menciumiku, seakan dia juga merindukanku. Aku selalu ingin berdiri disana dan melihat kesekelilingku, dan memperhatikan ada beberapa bagian dalam perkampungan itu yang berubah.
Dan  apapun itu teori gravitasi akan berlaku untukku, bahwa terlempar kemanapun aku, sejauh apapun selagi masih dibumi ini aku akan tetap kembali kesebuah tempat yang paling damai dibumi ini.
Hujan, waktu kecil aku sangat menyukai hujan. Saat hujan aku mendapat kebebasan untuk bermain lumpur, berpindah dari satu halaman ke halaman orang lain. Bermain pelepah pinang, hingga aku menggigil kedinginan dan bibirku membiru. Aku tidak pernah sakit karena hujan, hujan adalah obat demam untukku. Aku terkadang ingin kembali kemasa itu. Aku menikmati suara hujan yang beradu dengan atap rumahku, suara berisik itu bahkan lebih indah dari musik – musik karya Bethoven atau Mozart.
Ketika musim kemarau tiba maka berbagai macam permainan akan ku lihat dihalaman. Bermain kelereng, bermain layangan dan masih banyak lagi. Musim kemarau, saat hari akan selalu cerah, saat sore akan selalu sejuk, malam yang penuh bintang dan pada pagi hari akan terasa sangat dingin.
Suara jangkrik dimalam hari juga sangat indah, aku bahkan lebih ingin mendengarnya pada mendengar suara penyanyi – penyanyi terkenal ditambah lagi pemandangan gratis melihat bintang tanpa ada yang menghalangi.
            Dan sekarang menyadari diriku yang baru saja berduka karena kegagalan mencapai apa yang aku inginkan ditambah lagi aku jauh dari kampung halamanku, bisakah kau bayangkan bagaimana perasaanku. Ingin rasanya aku duduk diatas pohon kakao untuk merenungkan nasibku, atau tiduran dihamparan jagung sambil menatap langit. Mungkin itu akan sedikit mengobati hatiku.
Hujan sudah berhenti. Sepertinya aku akan melangkahkan kakiku, meninggalkan kampus ini, aku tidak ingin berlama – lama disini.



***
Malam ini, langit Medan tampak cerah, bintang – bintang menghiasi langit. Agustus, musim kemarau. Agustus selalu kemarau, tetapi kemarau kali ini sangat berbeda karena hatiku juga ikut – ikutan kemarau. Berduka karena tidak mendapatkan sekolah yang diinginkan itu 7 kali lebih parah dari pada patah hati karena ditinggalkan pacar selingkuh dengan sepupu sendiri. MENYEDIHKAN.
Aku memutuskan untuk duduk diteras, sayup – sayup ku dengar suara penyanyi dari lapo tuak Batak yang terletak tidak jauh dari kos ku. Paling tidak kerinduanku kepada kampung halamanku sedikit terobati karena dikampung halamanku aku juga sering mendengar penyanyi Batak bagian lapangan bernyanyi, setelah disogok beberapa gelas tuak mereka baru berani memperdengarkan suaranya.
Aku merasa baru saja mengalami kekalahan telak dalam pertandingan terbesar di hidupku. Aku merasa hidupku sudah berakhir. Sebuah perasaan yang sama seperti yang dirasakan Mike Tyson ditahun 90-an, karirnya tamat hidupku sekarat.
Rencana mama tentang masa depanku sungguh luar biasa. Lebih ajaib dari pada teori Isaac Newton ketika kepalanya dijatuhi apel, teori yang sangat jenius.  Menempuh pendidikan guru, melamar PNS, bekerja beberapa tahun lalu menikah dengan PNS dan memiliki anak. Sungguh luar biasa. Aku tidak sanggup mengatakan apapun. Aku kehabisan argumentasi. Bravo mama.
Warisan orde baru tentang kenyaman hidup seorang PNS ternyata membawa dampak buruk mengenai masa depanku. Aku tidak mau, menjadi PNS atau tepatnya menjadi guru adalah cita – citaku beberapa tahun yang lalu, mungkin 10 tahun yang lalu. Aku sudah berlari dari sana, aku bahkan hampir lupa kalau aku pernah bercita – cita jadi guru.
“ Aku mau jadi apoteker aja ma..”
“ Menjadi apoteker. Memegang obat – obatan, kau ini perempuan, orang yang bekerja di bidang seperti itu akan sulit mendapat keturunan, mau kau diceraikan suamimu gara – gara tidak punya anak ? “ TAMAT. Anak yang belum nampak itu bahkan lebih berharga dari hidupku dan masa depan impianku.
“Kalau gitu aku mau jadi pengacara ma...”
“ Membela yang salah, kau pikir ada yang benar pengacara di Indonesia ini, yang salah yang dibenarkan. Kalau kau jujur tidak akan ada uangmu. Kalau kau seperti itu maka kau akan masuk neraka. Kita tidak boleh seperti itu.” HABIS PERKARA. Mama tidak ingin aku menjadi pengacara.
 “ aku mau kuliah di STAN aja ma... pegawai negeri dan nggak berhubungan dengan obat – obatan...”
“ Penempatannya jauh – jauh, kek mana kalau ditempatkan di Kalimantan atau Sulawesi, kapan kau pulangnya, kalau pulang habis ongkos. Udah jadi guru aja...”
Dan aku sudah berjalan sesuai dengan instruksi mama. Aku benci dengan kenyataan ini.
***
“ Na, bangun, kita jadikan jalan – jalan hari ini ? “ suara Kak Meri membangunkan ku, aku memicingkan mataku, masih kabur, aku menutup mataku lagi. Perlahan ku buka, pandanganku tertuju pada jam yang berada tepat didepanku. Jam 9. Dahsyat sekali. Sejak aku kecil mungkin ini adalah bangun pagi terlamaku. Dirumahku, mama akan menyuruh adikku untuk membangunkan ku dengan gagang sapu. Di asrama suster akan membangunkanku dengan percikan air. Sedangkan ketika SMA aku tidak mungkin bangun lama, teman – temanku pasti sudah akan bergegas mengerjakan pekerjaannya, bukankah memalukan jika aku bangun paling lama ?
“ Jalan – jalan ? “ aku mengulang kata- katanya. Hah.... aku berpikir sejenak. Ini memang bukan hari pertama aku berada di Medan tetapi aku terlalu sibuk dengan persiapan ujian.Tidak ada satupun tempat yang ku tahu. Aku bergegas bangkit dari tidurku, mungkin sekarang saatnya melupakan sejenak duka dihatiku.
Aku hanya perlu mandi dan memakai pakaian yang layak, aku bukan orang yang mengikuti mode atau yang berkejar – kejaran dengan mode, no i’m not a dedicated follower, that’s not my style. Aku bahkan ingin bertengkar dengan mode. Aku tidak menganggap pakaian terbaik itu rancangan Alexander Mcqueen atau Georgi Armani. Bagiku kaus oblong berwarna putih dan celana jeans adalah pakaian terbaik sepanjang masa. Ku rasa Coco Chanel juga akan sependapat denganku.
Aku menatap kak Meri, sebelum aku bangun dia sudah selesai mandi, setelah aku selesai mandi dia masih belum selesai merias wajahnya yang bulat itu. Dia kini sedang asyik melentikkan bulu matanya, melihat alat- alat rias itu aku muak. Haruskah aku menggunakan semuanya itu ?
“ kamu nggak saat teduh dulu ? “ kak Meri mengingatkan sekaligus mengejutkanku yang asyik memperhatikannya, aku menggeleng. Saat teduh, tahukah kau apa itu saat teduh ? saat teduh adalah sebuah kegiatan yang selama ini rutin ku lakukan khususnya di pagi hari, yaitu berdoa dan membaca Alkitab. Sebelum aku tahu akan berakhir di kampus ini, aku begitu rajin melakukannya. Tetapi sekarang aku sedang tidak ingin melakukannya, aku menganggap Tuhan juga bersalah dengan kenyataan ini.
“ Kenapa ? “ tanyanya sambil mengapitkan pelentik bulu mata di bulu matanya, kelihatannya dia tidak serius menanyakan alasan ku tidak saat teduh.
“ Lagi musuhan sama Tuhan..” jawabku lalu melangkah meninggalkan kamar, aku memutuskan menunggu kak Meri di teras saja.
            Menatap pohon kesumba yang tumbuh didepan rumah kosku, tingginya kira – kira setengah meter, menatap daunnya, pikiranku melayang lagi. Aku anak yang paling sering membuat orang tua ku kesal setengah mati. Aku memprotes undang – undang dirumahku yang mengharuskanku mencuci piring karena menurut papa itu adalah tugas kaum perempuan.
“ Sekarang jaman sudah berubah pak...” mulut kecilku melawan. Bapak mendelik, si kecil berambut keriting itu selalu melawannya.
“ Ini jaman kartini pak...”
“ Jaman kartini, jaman kartolo, cepat kau cuci piring itu..” abang ku ikut – ikutan membentak. Bapak masih saja memandangi ku sedangkan yang dipandangi kini sedang mengumpulkan berbagai jawaban untuk mematahkan argumen bapak dan abangnya.
“ Jaman emansipasi wanita, persamaan hak wanita dan laki-laki. Jadi mulai sekarang aku tidak mau lagi mencuci piring setiap hari, hari ini aku, besoknya bukan aku, besoknya lagi baru aku. “ teori ku membuat bapak naik pitam.
“ Cepat cuci piring itu...” semburnya, aku tidak bergeming. Bapak menyerah, percuma saja dia bersitegang dengan anak perempuannya itu. Aku keras kepala sama seperti dirinya.
“ Ya udahlah terserah kau, ini emansipasi wanita atau emansipasi apalah namanya, bisanya kau cuci dulu piring itu inang ? yang penting kau cuci dulu piringnya, untuk besok terserahlah siapa yang mencuci, entah itu mamak mu, abang mu, adikmu, kita ada 6 jadi gantian, kalau hari minggu kita libur mencuci piring. Atau perlukah kita ambil daun pisang itu biar kita tidak mencuci piring lagi ? “
“ Ok.. hari ini ku cuci, nanti kita buat petugasnya, macam piket dikelas kami..” ujarku lalu meninggalkan ruang tengah menuju dapur untuk melaksanakan tugas.
Setengah jam menunggu, aku akhirnya berhasil menahan kebosananku. Menumpang angkot berwarna merah aku menyusuri kota Medan, melewati jalanan yang macet, stasiun kereta Api dan berhenti di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota Medan. Tidak banyak yang ku lakukan di Mal ini, memperhatikan orang – orang yang lalu lalang memamerkan paha mereka yang putih dan tipis seperti kaki ayam Australia yang baru saja dimasukkan kedalam mesin pencabut bulu dan disiram air panas. Mengamati orang – orang yang sedang jatuh cinta, saling menggenggam tangan , berbicara dengan penuh cinta dan senyuman dan tentunya menemukan orang – orang sepertiku juga yang berdiri dengan wajah ditekuk, orang – orang yang kehilangan dirinya sendiri.
“ Mau makan es krim Na ? “ pertanyaan kak Meri mengejutkanku, aku mengangkat bahuku, yang berarti terserah. Aku tidak suka pertanyaan mode Yes or No. Kak Meri hanya mendesah pelan, aku tahu dia tidak suka dengan sifatku hari ini, namun dia juga tidak mempunyai pilihan.
“ Kita belanja aja dulu..”
Aku menyusuri supermarket yang ada didalam mal, aku gelisah, ada yang aneh denganku hari ini. Mengapa semua huruf yang ku lihat berubah menjadi STAN. Di stan makanan, di stan Peralatan dapur. Di stan peralatan mandi. Aku merasa garis kenormalan otakku sedikit bergeser setelah kegagalan itu. Aku memaksa kak Meri untuk keluar dari sana.
            Kami memutuskan untuk mengunjungi Merdeka Walk atau Lapangan Merdeka yang terletak didekat stasiun kereta api.  Disana banyak menjual buku – buku yang digandakan secara ilegal. Buku – buku yang laris manis dipasaran dapat dengan mudah ditemukan disini dengan harga setengahnya, bahkan bisa lebih murah dari itu ketika kau pintar menawar atau menawan hati penjual. Aku sedang mencari buku – buku karya Andrea Hirata. Aku begitu terpesona dengan novel pertamanya, Laskar Pelangi. Kalau Andrea Hirata mengalami hidup yang pas – pasan beberapa puluh tahun yang  maka aku yang hidup di era milenium ini masih merasakannya hingga sekarang. Aku tidak mungkin membeli buku yang asli ditoko Buku. Orang tuaku tidak memberikan uang untuk membeli novel.
Untuk ini aku merasa bersalah kepada Andrea Hirata, ku rasa dia akan mengerti. Satu – satunya buku yang ku beli dari toko buku resmi adalah Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas. Dan setelah itu ekonomi pribadiku mengalami resesi. Aku kesulitan untuk memperbaikinya, persis ekonomi Indonesia yang dilibas Soros pada tahun 1998.
            Membaca Laskar Pelangi membuatku kembali ke masa kecilku. Kembali kesebuah SD Inpres. Kembali kegerbang yang tidak berpintu yang memungkinkan kau bisa datang kapan saja kesekolah itu, sama seperti sekolah Andrea Hirata, di Sekolah ku tidak ada yang perlu dilindungi, tidak ada yang perlu dicuri. Aku mengingat momen aku berlari – lari menuju sekolah itu, kembali memanjat pohon yang setiap tahun selalu dijajal oleh anak manusia yang berkelakuan seperti anak monyet, memanjat hingga ke ujung – ujung dahan pohon. Konon pohon malang itu akhirnya mengering, siapa yang tahan dijajah oleh anak manusia yang belum mengalami evolusi yang sempurna : masih sangat suka memanjat pohon.
Aku kembali kesebuah masa yang menyenangkan. Aku melihat diriku sedang mengenakan sepatu karet, dengan seragam putih merah, tidak menggunakan dasi dan topi. Sekolah tidak mengharuskannya. aku mengingat pertama kali aku memakai seragam sekolah, petama kali aku membangun mimpiku dimasa depan.
Sekolah kami adalah bangunan semi permanen yang terdiri dari 7 gedung utuh, kelas 1 sampai kelas 6, sedangkan satu ruangan kecil digunakan untuk ruangan guru merangkap ruangan kepala sekolah. Kamar mandi juga tersedia disekolah itu, hanya saja untuk persediaan air, kami bergantung sepenuhnya kepada langit. Kalau sedang musim hujan maka kamar mandi itu akan memiliki air sedangkan kalau musim kemarau sedang melanda maka bau dari kamar mandi itu dapat membunuh orang – orang disekitarnya. Disamping kantor kepala sekolah ada sebuah bangunan bak, berukuran kurang lebih 2,5 meter persegi. Bak itu dulunya digunakan untuk menampung air, segera setelah bangunan itu tidak dipakai makan banyak anak – anak tidak peduli laki laki atau perempuan akan memanjat disana. Aku heran, kebiasaan dari mana yang ditiru anak – anak itu sehingga apa saja yang bisa dipanjat akan selalu dipanjat.
Banyak momen – momen dimasa sekolah dasar yang sangat ingin ku lakukan kembali. Melihat pertunjukan smackdown gratis. Saat aku kecil dan saat aku menempuh pendidikan dasar tepatnya aku pernah mengingat suatu kejadian, dimana anak SD begitu sportif menyelesaikan persoalan di sekolah. Kami kompak untuk pulang belakangan. Menunggu guru pulang lebih dulu. Lalu kami akan mempersiapkan sebuah arena untuk melakukan duel, satu lawan satu. Memang panggung kami tidak semegah seperti siaran smackdown di televisi, tetapi itu cukup menginspirasi anak – anak kampung ini, tidak peduli perempuan atau laki-laki. Benar – benar gila.
            Setiap pulang sekolah, aku dan teman – temanku akan membuka sepatu dan memasukkannya kedalam tas. Aku tidak tahu untuk apa gunanya membuka sepatu membiarkan kaki telanjak menginjak jalanan yang terkadang ter nya mencair karena sinar matahari. Namun itu adalah sebuah ritual bagi kami.
            Ketika ujian tiba maka akan terlihat pemandangan yang menggelikan, kami akan datang menggunakan tas yang terbuat dari plastik kresek yang telah dipasangi tali. Kami memiliki tas. Tentu saja kami memilikinya. Hanya saja setiap ujian tiba maka ritual memakai tas kresek akan booming. Itu sudah seperti budaya, sama seperti kebiasaan orang Amerika yang akan memanggang ayam kalkun untuk perayaan Thanksgiving.
            Beberapa hari sebelum pembagian rapor, pihak sekolah akan mengumumkan untuk membawa peralatan kebersihan. Dan keesokan harinya akan tampak anak-anak yang membawa parang, ember, cangkul atau apapun itu yang bisa difungsikan untuk membersihkan sekolah itu. Aku menjalani kegiatan itu selama 6 tahun. Mulai Juli 1997 sampai Mei 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar