These are about dreams and facts, sometimes when dream
doesn’t walk the ways its should be, the only one place you want to think about
it is just Home.
Hujan. Hari ini sedang hujan. Hari ini, hari pertama aku
menginjakkan kaki dikampus yang akan menjadi tempatku menuntut ilmu 4 atau 5
tahun mendatang. Aku menatap langit, kelabu. Ku perhatikan sekelilingku, orang
– orang tampak sama sepertiku : mengalami kebosanan. Hari ini aku mendaftarkan
ulang setelah dinyatakan lulus di perguruan tinggi negeri di ibukota provinsi .
Bapak ku menerima kemenangan ini dengan sangat sukacita, sangat sukacita. Ekspresi
yang sama seperti waktu Jepang menyerah kepada Sekutu, atau ekspresi ketika
Gusdur terpilih menjadi presiden.
Orang tuaku tidak mengharapkan aku lulus di perguruan
tinggi macam UI, TIDAK. Dia bahkan mungkin tidak pernah mendengar nama itu.
Lalu bagaimana aku menanggapi kemenangan ku ini,
mengalahkan puluhan ribu orang yang berebut keperguruan tinggi ini ? haruskah
aku juga ikut merasakan euforia orang tuaku ? haruskah aku melonjak kegirangan
? atau haruskah aku meng-update statusku di jejaring sosial :
Wow... finally
i get it.
Bisakah ku katakan sebuah kebenaran ?
AKU SANGAT BENCI DINYATAKAN LULUS DIPERGURUAN TINGGI INI.
Aku tidak pernah berminat untuk kuliah disini. TIDAK. Mungkin
pernah, tapi itu sudah sangat lama sekali. Aku pernah bercita – cita jadi guru
sewaktu aku SD, bayangkan betapa lamanya waktu sudah berlalu. Presiden saja
sudah banyak berganti sejak aku memiliki mimpi itu.
Aku ingin jadi guru karena di kampungku satu – satunya
profesi yang menyenangkan itu adalah guru, mereka tidak perlu keladang,
berjibaku dengan lumpur, berjemur di panas dan kehujanan.
Aku benci itu. Aku
benci berbicara kepada rumput – rumput yang selalu mengganggu tanaman, aku
benci melihat jagung apalagi ketika serbuk bunga jagung menempel ditubuhku, oh
tidak.
Tadinya
aku ingin melanjutkan pendidikanku di STAN, aku sudah rajin membaca koran
beberapa bulan terakhir ini. Mulai dari koran kriminal sampai koran politik,
koran lokal hingga koran nasional, aku lebih rajin membaca koran daripada
membaca buku teks.
Itu untuk
mengikuti petunjuk salah satu kenalanku
yang juga alumni dari STAN. Katanya soal – soal yang sering keluar untuk
pengetahuan umum adalah peristiwa – peristiwa yang terjadi beberapa bulan
belakangan sebelum ujian dimulai, sayangnya dia tidak memberitahu koran mana
yang harus ku baca.
Dan sekarang aku sedih mendapati diriku disini, aku sedih
melihat Ronauli, gadis dengan tinggi 153 cm, berkulit sawo matang (itu pun
karena aku tidak terima dikatakan hitam), berambut ikal sedang berdiri disebuah
gedung di universitas yang jauh dari mimpiku. Aku bagaikan Alice yang terbuang kelobang
yang sangat dalam, lebih dalam daripada yang bisa ku bayangkan, yang tidak ku
tahu akan berhenti dimana. (kalo nggak
pernah nonton Alice in Wonderland gak ngerti nih...)
Ingin rasanya aku kembali ke masa kecilku. Akh aku
kembali saja.
Dairi.
Pernah kah kau mendengarnya ?.
Memang tidak ada presiden yang lahir disana, tidak ada
penyanyi yang lahir disana (mungkin ada tetapi mereka lebih sering mengatakan
lahir di Medan daripada di Dairi) dan tentunya belum pernah ada peraih Nobel
atau Grammy dari sana. Tapi kalau tersangka korupsi, ya ada beberapa orang,
beberapa puluh orang, entahlah.
Dairi, aku tidak tahu berapa derajat lintang utara atau
lintang selatan, aku juga tidak tahu berapa derajat bujur barat dan bujur
timur. Aku lebih mengingat letak kota London dari pada Dairi.
Jika ada yang ingin menanyakanku mengenai Dairi maka yang
paling ku ingat adalah: DINGIN. Ya Dairi
itu sangat dingin, itu yang membuat aku tidak lulus di STAN, cuaca dinginnya
selalu membuat mataku mengantuk, angin nya seakan sedang bermain – main diujung
mataku dan seakan selalu menyuruhku untuk tidur lagi dan lagi.
Jika ada yang menanyakan lebih lagi maka akan ku katakan,
ketika kau ke Dairi maka dipastikan satu tulang rusukmu akan patah. Karena
jalanan disana sangat berseni, penuh dengan tanjakan ringan yang selalu
diperbaiki tetapi selalu rusak, belum lagi sopir bus ke Dairi sering
berkelakuan seperti setan. Aku mengingat dosenku yang berkunjung ke Dairi
membawa seorang rekannya turis mancanegara dan menumpang bus. Sesampainya di
Dairi si turis berkomentar
The driver is
crazy
Aku tertawa, dalam hatiku aku berkata
Yes sir, they
absolutly crazy
Ibu kota Dairi adalah Sidikalang. Aku tidak tinggal di
Sidikalang, aku tinggal 40 KM dari kota Sidikalang. Listrik sudah masuk,
sedangkan telepon seluler atau handphone
baru menyerang kampungku ditahun 2006.
Ingin kah kau mendengar bagaimana aku mendeskripsikan
kampung halamanku lebih lengkap lagi ?
Tidak
indah. Ya kampung halaman ku tidak indah. Memiliki sungai yang terlalu
berbahaya untuk direnangi, terlalu kotor untuk diminum dan terlalu jauh untuk
dijangkau. Satu – satunya sumber air adalah sebuah pancuran. Pegunungan kecil
mengelilingi dan perladangan menghampar. Tidak ada danau dibelakang rumah
seperti yang sering ku lihat di Samosir. Sejauh mata memandang maka yang
dilihat adalah jagung yang kadang tinggi tapi tidak berbuah, kacang yang tidak
mau tumbuh dan kakao yang jerawatan.
TETAPI AKU MENCINTAINYA, MERINDUKANNYA DAN MENJADI
SATU-SATUNYA TEMPAT YANG TIDAK AKAN MEMBUATKU BOSAN.
Aku
selalu mengingat bagaimana aku selalu melihat kebelakang ketika angkutan umum
yang ku tumpangi bergerak menjauhi perkampungan itu, karena aku berharap setiap
aku pergi meninggalkan perkampungan itu aku akan tetap kembali kesana. Karena
aku selalu saja merindukan senyuman setiap orang – orang ketika bertemu
denganku. Kehidupan ku berawal dari sana dan aku juga berharap sesekali akan
kembali kesana dan mungkin ingin berakhir disana juga. Aku selalu merindukan
udaranya yang sejuk menyentuh wajahku, memeluk tubuhku dan mempermainkan rambut
ikalku, seakan itu adalah pesta penyambutan untukku.
Aku rindu berada dibawah pohon durian, melihat buahnya
yang terkadang berhimpitan sangat banyak, mendengarnya jatuh dan tentu saja
saat memakannya juga. Aku merindukan itu semua.
Aku merindukan hujan turun disana dan membasahi kepalaku,
seakan menciumiku, seakan dia juga merindukanku. Aku selalu ingin berdiri
disana dan melihat kesekelilingku, dan memperhatikan ada beberapa bagian dalam
perkampungan itu yang berubah.
Dan apapun itu
teori gravitasi akan berlaku untukku, bahwa terlempar kemanapun aku, sejauh
apapun selagi masih dibumi ini aku akan tetap kembali kesebuah tempat yang paling
damai dibumi ini.
Hujan, waktu kecil aku sangat menyukai hujan. Saat hujan
aku mendapat kebebasan untuk bermain lumpur, berpindah dari satu halaman ke
halaman orang lain. Bermain pelepah pinang, hingga aku menggigil kedinginan dan
bibirku membiru. Aku tidak pernah sakit karena hujan, hujan adalah obat demam
untukku. Aku terkadang ingin kembali kemasa itu. Aku menikmati suara hujan yang
beradu dengan atap rumahku, suara berisik itu bahkan lebih indah dari musik –
musik karya Bethoven atau Mozart.
Ketika musim kemarau tiba maka berbagai macam permainan
akan ku lihat dihalaman. Bermain kelereng, bermain layangan dan masih banyak
lagi. Musim kemarau, saat hari akan selalu cerah, saat sore akan selalu sejuk,
malam yang penuh bintang dan pada pagi hari akan terasa sangat dingin.
Suara jangkrik dimalam hari juga sangat indah, aku bahkan
lebih ingin mendengarnya pada mendengar suara penyanyi – penyanyi terkenal
ditambah lagi pemandangan gratis melihat bintang tanpa ada yang menghalangi.
Dan
sekarang menyadari diriku yang baru saja berduka karena kegagalan mencapai apa
yang aku inginkan ditambah lagi aku jauh dari kampung halamanku, bisakah kau
bayangkan bagaimana perasaanku. Ingin rasanya aku duduk diatas pohon kakao
untuk merenungkan nasibku, atau tiduran dihamparan jagung sambil menatap
langit. Mungkin itu akan sedikit mengobati hatiku.
Hujan sudah berhenti. Sepertinya aku akan melangkahkan
kakiku, meninggalkan kampus ini, aku tidak ingin berlama – lama disini.
***
Malam ini, langit Medan tampak cerah, bintang – bintang
menghiasi langit. Agustus, musim kemarau. Agustus selalu kemarau, tetapi
kemarau kali ini sangat berbeda karena hatiku juga ikut – ikutan kemarau.
Berduka karena tidak mendapatkan sekolah yang diinginkan itu 7 kali lebih parah
dari pada patah hati karena ditinggalkan pacar selingkuh dengan sepupu sendiri.
MENYEDIHKAN.
Aku memutuskan untuk duduk diteras, sayup – sayup ku
dengar suara penyanyi dari lapo tuak
Batak yang terletak tidak jauh dari kos ku. Paling tidak kerinduanku kepada
kampung halamanku sedikit terobati karena dikampung halamanku aku juga sering
mendengar penyanyi Batak bagian lapangan bernyanyi, setelah disogok beberapa
gelas tuak mereka baru berani memperdengarkan
suaranya.
Aku merasa baru saja mengalami kekalahan telak dalam
pertandingan terbesar di hidupku. Aku merasa hidupku sudah berakhir. Sebuah
perasaan yang sama seperti yang dirasakan Mike Tyson ditahun 90-an, karirnya
tamat hidupku sekarat.
Rencana mama tentang masa depanku sungguh luar biasa.
Lebih ajaib dari pada teori Isaac Newton ketika kepalanya dijatuhi apel, teori
yang sangat jenius. Menempuh pendidikan
guru, melamar PNS, bekerja beberapa tahun lalu menikah dengan PNS dan memiliki
anak. Sungguh luar biasa. Aku tidak sanggup mengatakan apapun. Aku kehabisan
argumentasi. Bravo mama.
Warisan orde baru tentang kenyaman hidup seorang PNS
ternyata membawa dampak buruk mengenai masa depanku. Aku tidak mau, menjadi PNS
atau tepatnya menjadi guru adalah cita – citaku beberapa tahun yang lalu,
mungkin 10 tahun yang lalu. Aku sudah berlari dari sana, aku bahkan hampir lupa
kalau aku pernah bercita – cita jadi guru.
“ Aku mau jadi apoteker aja ma..”
“ Menjadi apoteker. Memegang obat – obatan, kau ini
perempuan, orang yang bekerja di bidang seperti itu akan sulit mendapat
keturunan, mau kau diceraikan suamimu gara – gara tidak punya anak ? “ TAMAT.
Anak yang belum nampak itu bahkan lebih berharga dari hidupku dan masa depan
impianku.
“Kalau gitu aku mau jadi pengacara ma...”
“ Membela yang salah, kau pikir ada yang benar pengacara
di Indonesia ini, yang salah yang dibenarkan. Kalau kau jujur tidak akan ada
uangmu. Kalau kau seperti itu maka kau akan masuk neraka. Kita tidak boleh
seperti itu.” HABIS PERKARA. Mama tidak ingin aku menjadi pengacara.
“ aku mau kuliah
di STAN aja ma... pegawai negeri dan nggak berhubungan dengan obat – obatan...”
“ Penempatannya jauh – jauh, kek mana kalau ditempatkan
di Kalimantan atau Sulawesi, kapan kau pulangnya, kalau pulang habis ongkos.
Udah jadi guru aja...”
Dan aku sudah berjalan sesuai dengan instruksi mama. Aku
benci dengan kenyataan ini.
***
“ Na, bangun, kita jadikan jalan – jalan hari ini ? “
suara Kak Meri membangunkan ku, aku memicingkan mataku, masih kabur, aku
menutup mataku lagi. Perlahan ku buka, pandanganku tertuju pada jam yang berada
tepat didepanku. Jam 9. Dahsyat sekali. Sejak aku kecil mungkin ini adalah
bangun pagi terlamaku. Dirumahku, mama akan menyuruh adikku untuk membangunkan
ku dengan gagang sapu. Di asrama suster akan membangunkanku dengan percikan
air. Sedangkan ketika SMA aku tidak mungkin bangun lama, teman – temanku pasti
sudah akan bergegas mengerjakan pekerjaannya, bukankah memalukan jika aku
bangun paling lama ?
“ Jalan – jalan ? “ aku mengulang kata- katanya. Hah....
aku berpikir sejenak. Ini memang bukan hari pertama aku berada di Medan tetapi
aku terlalu sibuk dengan persiapan ujian.Tidak ada satupun tempat yang ku tahu.
Aku bergegas bangkit dari tidurku, mungkin sekarang saatnya melupakan sejenak
duka dihatiku.
Aku hanya perlu mandi dan memakai pakaian yang layak, aku
bukan orang yang mengikuti mode atau yang berkejar – kejaran dengan mode, no i’m not a dedicated follower, that’s not
my style. Aku bahkan ingin bertengkar dengan mode. Aku tidak menganggap
pakaian terbaik itu rancangan Alexander Mcqueen atau Georgi Armani. Bagiku kaus
oblong berwarna putih dan celana jeans adalah pakaian terbaik sepanjang masa.
Ku rasa Coco Chanel juga akan sependapat denganku.
Aku menatap kak Meri, sebelum aku bangun dia sudah
selesai mandi, setelah aku selesai mandi dia masih belum selesai merias
wajahnya yang bulat itu. Dia kini sedang asyik melentikkan bulu matanya,
melihat alat- alat rias itu aku muak. Haruskah aku menggunakan semuanya itu ?
“ kamu nggak saat teduh dulu ? “ kak Meri mengingatkan
sekaligus mengejutkanku yang asyik memperhatikannya, aku menggeleng. Saat
teduh, tahukah kau apa itu saat teduh ? saat teduh adalah sebuah kegiatan yang
selama ini rutin ku lakukan khususnya di pagi hari, yaitu berdoa dan membaca
Alkitab. Sebelum aku tahu akan berakhir di kampus ini, aku begitu rajin
melakukannya. Tetapi sekarang aku sedang tidak ingin melakukannya, aku
menganggap Tuhan juga bersalah dengan kenyataan ini.
“ Kenapa ? “ tanyanya sambil mengapitkan pelentik bulu
mata di bulu matanya, kelihatannya dia tidak serius menanyakan alasan ku tidak
saat teduh.
“ Lagi musuhan sama Tuhan..” jawabku lalu melangkah
meninggalkan kamar, aku memutuskan menunggu kak Meri di teras saja.
Menatap
pohon kesumba yang tumbuh didepan rumah kosku, tingginya kira – kira setengah
meter, menatap daunnya, pikiranku melayang lagi. Aku anak yang paling sering
membuat orang tua ku kesal setengah mati. Aku memprotes undang – undang
dirumahku yang mengharuskanku mencuci piring karena menurut papa itu adalah
tugas kaum perempuan.
“ Sekarang jaman sudah berubah pak...” mulut kecilku
melawan. Bapak mendelik, si kecil berambut keriting itu selalu melawannya.
“ Ini jaman kartini pak...”
“ Jaman kartini, jaman kartolo, cepat kau cuci piring
itu..” abang ku ikut – ikutan membentak. Bapak masih saja memandangi ku
sedangkan yang dipandangi kini sedang mengumpulkan berbagai jawaban untuk
mematahkan argumen bapak dan abangnya.
“ Jaman emansipasi wanita, persamaan hak wanita dan
laki-laki. Jadi mulai sekarang aku tidak mau lagi mencuci piring setiap hari,
hari ini aku, besoknya bukan aku, besoknya lagi baru aku. “ teori ku membuat
bapak naik pitam.
“ Cepat cuci piring itu...” semburnya, aku tidak
bergeming. Bapak menyerah, percuma saja dia bersitegang dengan anak
perempuannya itu. Aku keras kepala sama seperti dirinya.
“ Ya udahlah terserah kau, ini emansipasi wanita atau
emansipasi apalah namanya, bisanya kau cuci dulu piring itu inang ? yang penting kau cuci dulu
piringnya, untuk besok terserahlah siapa yang mencuci, entah itu mamak mu,
abang mu, adikmu, kita ada 6 jadi gantian, kalau hari minggu kita libur mencuci
piring. Atau perlukah kita ambil daun pisang itu biar kita tidak mencuci piring
lagi ? “
“ Ok.. hari ini ku cuci, nanti kita buat petugasnya,
macam piket dikelas kami..” ujarku lalu meninggalkan ruang tengah menuju dapur
untuk melaksanakan tugas.
Setengah jam menunggu, aku akhirnya berhasil menahan
kebosananku. Menumpang angkot berwarna merah aku menyusuri kota Medan, melewati
jalanan yang macet, stasiun kereta Api dan berhenti di salah satu pusat
perbelanjaan terbesar di kota Medan. Tidak banyak yang ku lakukan di Mal ini,
memperhatikan orang – orang yang lalu lalang memamerkan paha mereka yang putih
dan tipis seperti kaki ayam Australia yang baru saja dimasukkan kedalam mesin
pencabut bulu dan disiram air panas. Mengamati orang – orang yang sedang jatuh
cinta, saling menggenggam tangan , berbicara dengan penuh cinta dan senyuman
dan tentunya menemukan orang – orang sepertiku juga yang berdiri dengan wajah
ditekuk, orang – orang yang kehilangan dirinya sendiri.
“ Mau makan es krim Na ? “ pertanyaan kak Meri
mengejutkanku, aku mengangkat bahuku, yang berarti terserah. Aku tidak suka
pertanyaan mode Yes or No. Kak Meri hanya mendesah pelan, aku tahu dia tidak
suka dengan sifatku hari ini, namun dia juga tidak mempunyai pilihan.
“ Kita belanja aja dulu..”
Aku menyusuri supermarket yang ada didalam mal, aku
gelisah, ada yang aneh denganku hari ini. Mengapa semua huruf yang ku lihat
berubah menjadi STAN. Di stan makanan, di stan Peralatan dapur. Di stan
peralatan mandi. Aku merasa garis kenormalan otakku sedikit bergeser setelah
kegagalan itu. Aku memaksa kak Meri untuk keluar dari sana.
Kami
memutuskan untuk mengunjungi Merdeka Walk atau Lapangan Merdeka yang terletak
didekat stasiun kereta api. Disana
banyak menjual buku – buku yang digandakan secara ilegal. Buku – buku yang
laris manis dipasaran dapat dengan mudah ditemukan disini dengan harga
setengahnya, bahkan bisa lebih murah dari itu ketika kau pintar menawar atau
menawan hati penjual. Aku sedang mencari buku – buku karya Andrea Hirata. Aku
begitu terpesona dengan novel pertamanya, Laskar Pelangi. Kalau Andrea Hirata
mengalami hidup yang pas – pasan beberapa puluh tahun yang maka aku yang hidup di era milenium ini masih
merasakannya hingga sekarang. Aku tidak mungkin membeli buku yang asli ditoko
Buku. Orang tuaku tidak memberikan uang untuk membeli novel.
Untuk ini aku merasa bersalah kepada Andrea Hirata, ku
rasa dia akan mengerti. Satu – satunya buku yang ku beli dari toko buku resmi
adalah Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas. Dan setelah itu ekonomi pribadiku
mengalami resesi. Aku kesulitan untuk memperbaikinya, persis ekonomi Indonesia
yang dilibas Soros pada tahun 1998.
Membaca
Laskar Pelangi membuatku kembali ke masa kecilku. Kembali kesebuah SD Inpres.
Kembali kegerbang yang tidak berpintu yang memungkinkan kau bisa datang kapan
saja kesekolah itu, sama seperti sekolah Andrea Hirata, di Sekolah ku tidak ada
yang perlu dilindungi, tidak ada yang perlu dicuri. Aku mengingat momen aku
berlari – lari menuju sekolah itu, kembali memanjat pohon yang setiap tahun
selalu dijajal oleh anak manusia yang berkelakuan seperti anak monyet, memanjat
hingga ke ujung – ujung dahan pohon. Konon pohon malang itu akhirnya mengering,
siapa yang tahan dijajah oleh anak manusia yang belum mengalami evolusi yang
sempurna : masih sangat suka memanjat pohon.
Aku kembali kesebuah masa yang menyenangkan. Aku melihat
diriku sedang mengenakan sepatu karet, dengan seragam putih merah, tidak
menggunakan dasi dan topi. Sekolah tidak mengharuskannya. aku mengingat pertama
kali aku memakai seragam sekolah, petama kali aku membangun mimpiku dimasa
depan.
Sekolah kami adalah bangunan semi permanen yang terdiri
dari 7 gedung utuh, kelas 1 sampai kelas 6, sedangkan satu ruangan kecil
digunakan untuk ruangan guru merangkap ruangan kepala sekolah. Kamar mandi juga
tersedia disekolah itu, hanya saja untuk persediaan air, kami bergantung
sepenuhnya kepada langit. Kalau sedang musim hujan maka kamar mandi itu akan
memiliki air sedangkan kalau musim kemarau sedang melanda maka bau dari kamar mandi
itu dapat membunuh orang – orang disekitarnya. Disamping kantor kepala sekolah
ada sebuah bangunan bak, berukuran kurang lebih 2,5 meter persegi. Bak itu
dulunya digunakan untuk menampung air, segera setelah bangunan itu tidak
dipakai makan banyak anak – anak tidak peduli laki laki atau perempuan akan
memanjat disana. Aku heran, kebiasaan dari mana yang ditiru anak – anak itu
sehingga apa saja yang bisa dipanjat akan selalu dipanjat.
Banyak momen – momen dimasa sekolah dasar yang sangat
ingin ku lakukan kembali. Melihat pertunjukan smackdown gratis. Saat aku kecil dan saat aku menempuh pendidikan
dasar tepatnya aku pernah mengingat suatu kejadian, dimana anak SD begitu
sportif menyelesaikan persoalan di sekolah. Kami kompak untuk pulang
belakangan. Menunggu guru pulang lebih dulu. Lalu kami akan mempersiapkan
sebuah arena untuk melakukan duel, satu lawan satu. Memang panggung kami tidak
semegah seperti siaran smackdown di
televisi, tetapi itu cukup menginspirasi anak – anak kampung ini, tidak peduli
perempuan atau laki-laki. Benar – benar gila.
Setiap
pulang sekolah, aku dan teman – temanku akan membuka sepatu dan memasukkannya
kedalam tas. Aku tidak tahu untuk apa gunanya membuka sepatu membiarkan kaki
telanjak menginjak jalanan yang terkadang ter
nya mencair karena sinar matahari. Namun itu adalah sebuah ritual bagi kami.
Ketika
ujian tiba maka akan terlihat pemandangan yang menggelikan, kami akan datang
menggunakan tas yang terbuat dari plastik kresek yang telah dipasangi tali.
Kami memiliki tas. Tentu saja kami memilikinya. Hanya saja setiap ujian tiba
maka ritual memakai tas kresek akan booming.
Itu sudah seperti budaya, sama seperti kebiasaan orang Amerika yang akan
memanggang ayam kalkun untuk perayaan Thanksgiving.
Beberapa
hari sebelum pembagian rapor, pihak sekolah akan mengumumkan untuk membawa
peralatan kebersihan. Dan keesokan harinya akan tampak anak-anak yang membawa
parang, ember, cangkul atau apapun itu yang bisa difungsikan untuk membersihkan
sekolah itu. Aku menjalani kegiatan itu selama 6 tahun. Mulai Juli 1997 sampai
Mei 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar