Minggu, 30 Oktober 2011

Pengemis Berdasi di “ Jalanan”




Maraknya kasus kasus pungutan liar yang belakangan ini santer diberitakan bukanlah suatu kasus baru, pungutan pungutan liar yang mengatasnamakan suatu institusi sudah lama terjadi dan menjadi rahasia umum masyarakat, entahlah pihak terkait sudah mengetahui atau belum isu tersebut.
Dalam suatu perjalanan pada sekitar Juli tahun lalu saya melakukan perjalanan dari Sidikalang ke Medan,dan selama perjalanan mobil yang saya tumpangi beberapa kali berhenti karena di-stop oleh aparat baik dari pihak Dinas Perhubungan maupun kepolisian. Kasus yang dialami oleh bus yang saya tumpangi ini mungkin satu dari sekian banyak kasus yang sama, pungutan liar selama perjalanan.
Ketika diberhentikan, oleh sang sopir pihak pihak yang memberhentikan ini diberikan salam “tempel” lalu mobil kembali boleh melanjutkan perjalanan, seolah itu merupakan hal yang wajar dan masing masing pihak seperti sudah memahami maksud dan tujuan, dan bahkan dengan santai sang aparat menyuruh warga sipil untuk meminta “jatah” dari sopir berhubung dia sedang bermain catur. Saya yang melihat adegan itu hanya bisa terseyum dan geleng geleng kepala. Ingin sekali saya memotretnya, sebagai kenang kenangan untuk anak anak saya suatu saat, sebagai bahan perbandingan bagaimana keadaan aparatur negara 20 tahun yang akan datang.
Jika hanya 1 yang melakukan hal demikian mungkin tidak ada masalah dengan sang sopir walaupun mengorbankan sekian persen dari pendapatannya, namun bagaimana jika ada 5 orang yang memberhentikan mobil itu?
Tentu hal tersebut sudah menjadi masalah baik bagi saya sebagai penumpang, coba bayangkan jika 1 kali berhenti harus menghabiskan 5 menit dan sangat menjadi masalah bagi sang sopir karena dia lagi lagi harus merogoh koceknya, dan memang seringkali saya perhatikan sang sopir amat kesal dengan perlakuan aparatur negara. Namun apa boleh buat, sang sopir merasa lebih baik memberikan beberapa lembar uang ribuan daripada berdebat atau malah berujung pada penahanan dengan alasan yang kurang jelas.





Pengemis jangan menjadi budaya dan kebanggaan

Maraknya pungutan liar yang pada akhirnya membebani masyarakat pada akhirnya akan membuat animo yang negatif untuk penegak penegak hukum karena tindakan aparatur yang tidak sesuai dengan fungsinya untuk mengayomi masyarakat sipil dan bahkan membebaninya.
            Satu hal yang saya cermati dari orang orang yang menamakan diri aparatur negara adalah mereka sangat bangga jika ditakuti oleh orang orang yang seharusnya mereka lindungi, kebanggaan itu membuat mereka merasa bahwa meminta kompensasi untuk sebuah layanan publik seperti jalan menjadi hak yang harus dipenuhi oleh pengguna jalan khususnya sopir sopir minibus yang melintas.
Budaya meminta minta rupanya telah menjadi identitas baru bagi sebagian aparatur negara, berdiri di jalanan dan memberhentikan sesuka hati kendaraan yang melintas dan seperti jagoan meminta “ sedekah”, dan ini harus dikikis, budaya meminta minta tidak sesuai dengan harga diri bangsa Indonesia.
Hendaknya dalam diri setiap individu baik itu penegak penegak hukum maupun orang orang sipil mampu untuk hidup dengan apa yang dihasilkannya bukan hasil memeras orang lain.
Jika pungutan pungutan liar dijalanan masih terjadi bukan tidak mungkin akan terjadi bentrok ketika kekesalan mereka menumpuk, dan salah satu cara menetralisirnya adalah hendaknya aparatur negara bisa bekerja sesuai standar yang berlaku, menghukum siapa yang patut dihukum dan mengapresiasi siapa yang patut diapresiasi.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar